BANDA ACEH – Ketua Harian Panglima Laot Aceh, Pawang Baharuddin Z., menegaskan, wilayah kelola adat laut sangat penting bagi nelayan di Aceh. Dia menyebutkan, wilayah kelola adat laot berbeda dengan wilayah konservasi secara kewenangannya.

“Wilayah kelola hukum adat justru akan saling menguatkan dengan kawasan konservasi,” ungkap Baharuddin akrab disapa Pawang Baha saat tampil sebagai narasumber diskusi publik di Ruang Video Conference Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (FH Unsyiah), Banda Aceh, 2 Oktober 2018.

Diskusi publik dengan tema “Wilayah Kelola Hukum Adat di Laot” itu digelar Kelompok Diskusi Dosen Hukum (KD2H) FH Unsyiah, dan dibuka Dr. Azhari, S.H., M.CL., M.A., Wakil Dekan Bidang Akademik FH Unsyiah.

Pawang Baha menyebutkan, saat ini hukum adat laot di Aceh sudah berkembang secara signifikan. Hal ini dapat dilihat dari struktural panglima laot yang sudah terbentuk di dalam lembaga adat panglima laot yang ada di Aceh sejak dahulu. Dia menilai, pemerintah salah kaprah bila mengabaikan wilayah kelola hukum adat laot.

“Alhamdulillah, beberapa waktu lalu kami dengar sendiri respons positif Kepala Dinas Kelautan,” ujar Pawang Baha, dikutip dari siaran pers dikirim panitia diskusi publik itu.

Menurut dia, sebenarnya ada beberapa wilayah yang memang sudah terbentuk batasan atau zonasi sejak dahulu, dan itu dipahami para panglima laot. Sehingga ke depan, kata dia, hanya diperlukan pengembangan untuk memperkuat apa yang sudah ada sejak dahulu. “Kami berharap lahir kekuatan hukum yang dapat memayungi para panglima laot dalam menjalankan peranannya, bukan malah melemahkannya,” kata Pawang Baha.

Pawang Baha juga mengungkapkan, selama ini pihaknya sudah memberikan banyak beasiswa kepada para anak nelayan untuk menempuh pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Biaya diberikan hingga ratusan juta kepada anak nelayan yang mau dan serius dalam menempuh pendidikan. “Ini merupakan fasilitas yang luar biasa yang diberikan oleh Lembaga Panglima Laot Aceh,” ujarnya.
 
Narasumber lainnya, Bakti Siahaan, S.H., M.H., mengatakan, wilayah kelola dalam terminologi tata kelola wilayah laut sangat menguntungkan para nelayan yang ada wilayah zona masing-masing. Hal tersebut juga akan meningkatkan nilai ekonomi para nelayan yang selama ini tidak tertata dalam mengelola hasil alam di wilayah yang menjadi kewenangan masing-masing nelayan.

“Masalahnya, Panglima Laot tidak masuk dalam kategori masyarakat hukum adat sebagaimana Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018,” katanya.

Dr. Sulaiman Tripa, S.H., M.H., narasumber diskusi publik itu, menyampaikan, keberadaan ulayat laut sebagai inti dari wilayah tata kelola adat, ditentukan oleh adanya masyarakat adat.

“Dalam Konstitusi Negara (UUD 1945) ada empat unsur yang harus dipenuhi masyarakat adat dalam pengelolaan laut. Syarat ini cukup sulit diwujudkan, belum lagi secara teknis masing-masing kementerian punya standar sendiri tentang masyarakat adat,” ujarnya.

Menurutnya, keberadaan panglima laot dan hukum adat laot harus diperkuat. Sulaiman juga menyampaikan, apa yang dilakukan pemerintah tidak selalu singkron dengan apa yang diatur dalam hukum adat laot.

“Memang selama ini konstitusi dasar kita telah mengakui keberadaan masyarakat adat, namun dalam kenyataan pengakuan itu masih bersyarat ketat dan sulit dipenuhi. Di sinilah pemerintah perlu membuka diri untuk menampung berbagai perkembangan yang terjadi dalam diskursus masyarakat adat,” ujar Sulaiman saat memaparkan materinya.

AKBP Nawan dari Airud Polda Aceh saat menyampaikan pendapat yang secara khusus diminta moderator menyebutkan, apa yang baik bagi nelayan, akan dijaganya secara maksimal. “Yang penting kita jaga nelayan kita agar bisa mencari rezeki dengan tenang,” katanya.

Dosen FH Unsyiah, Dr. Adli Abdullah, yang diberi kesempatan menyampaikan pandangannya mengatakan, hukum adat laot harus dilihat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan dipatuhi, bukan lawan dari hukum negara.

Menurut Adli, pelestarian lingkungan merupakan kebutuhan publik yang penting. “Tapi tidak boleh mengabaikan masyarakat adat laot,” kata Dosen Hukum Adat ini.

Adli juga menaruh harapan, penyusunan Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) tidak boleh mengorbankan wilayah hukum adat laot, dan harus menghormati hak kelola ada laot yang sudah wujud berabad-abad lamanya.

Moderator diskusi publik tersebut, Teuku Muttaqin Mansur, juga menyampaikan harapannya, agar diskusi ini dapat menjadi terobosan baru ke depan. Sebagai cikal bakal pengembangan dari tata kelola hak ulayat laut di Aceh, yang nantinya akan menumbuhkan tatanan yang baik di setiap zonasi yang sudah disepakati di dalam Qanun Aceh.

“Maka diperlukan sambutan hangat oleh Pemerintah Aceh dan instansi terkait mengenai sektor tata kelola hukum adat laut Aceh,” kata Teuku Muttaqin.

Wakil Dekan Bidang Akademik FH Unsyiah,  Azhari, saat membuka kegiatan itu mengatakan, diskusi seperti ini perlu terus dilaksanakan akademisi terutama untuk menjawab isu-isu aktual. “Akademisi harus memberi kontribusi dalam penyelesaian masalah di tengah masyarakat,” ujarnya.

Acara itu juga diwarnai pembacaan puisi oleh penyair yang dikenal sebagai Presiden Rex, Hasbi Burman. Ia membaca dua puisi, salah satunya berjudul ‘Wangi Hukum’.

Diskusi itu didukung Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Syiah Kuala Law Journal, Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Hukum, UKM Hahoe, Geuthee Institute, Pusat Studi Gender (PSG), dan Acehna Institute.

Turut hadir Koordinator Program Studi Doktor Ilmu Hukum FH Unsyiah Prof. Dr. Adwani, S.H., M.Hum., Koordinator Magister Kenotariatan Dr. Yanis Rinaldi, Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum. (dosen), sivitas akademis FH Unsyiah, para praktisi hukum, dan Muhammad Taufik Abda. Ada pula perwakilan IKAWAPI Aceh, Ombudman Aceh, Jaringan Kuala, mahasiswa strata satu dan magister.[](rel)

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *