DALAM perbincangan sehari-hari masyarakat Aceh, ketika seseorang dikaitkan dengan tiga kata,- laot, blang, uteun -, ada konotasi tak baik, dan bahkan sangat tak terpuji.
Ketika tiga kata itu disematkan pada seseorang, itu adalah gambaran ketamakan, keserakahan, dan nafsu berkelanjutan untuk pengumpulan materi dan penguasaan sumber daya.
Sifat buruk itu bisa saja berhubungan atau tidak berhubungan dengan penguasaan dan pemanfaatan hutan, sawah, ataupun laut, sebagai sumber kekayaan yang diperoleh.
Itulah “ikon” sumpah serapah orang kecil di Aceh ketika melihat individu yang rakus, tak bersyukur, dan selalu merasa kurang sebelum menguasai apapun yang diinginkan.
Ketika ketiga kata itu dikaitkan dengan seorang putra Sunda yang sangat terkait dengan Aceh, konotasi itu tak berlaku dan bahkan justru terbalik.
Jika kata itu dikaitkan dengan Sarwono Kusumaatmaja, maka yang terbayang adalah kesederhanaan, kepedulian, dan keberpihakan, mungkin tanpa batas, kepada rakyat, terutama rakyat kecil di Aceh.
Hanya sedikit yang tertulis dan tersiarkan bagaimana hubungan Sarwono dengan Aceh, terutama dengan laut dan hutan.
Hanya beberapa orang saja yang paling dekat dengannya yang sempat melihat bagaimana Sarwono berbuat sesuatu untuk Aceh dengan penuh perhatian dan keikhlasan.
Walaupun mungkin tidak semua, sebagian, atau bahkan secuil, kebaikan yang diperjuangkannya berhasil, Sarwono merasa sangat puas dan bahagia ketika ia bisa berbuat sesuatu untuk Aceh.
Barangkali yang dapat ditangkap adalah komitmennya berhubungan dengan tidak hanya dengan masa depan Aceh, akan tetapi juga masa depan Indonesia, dan bahkan masyarakat global.
Sulit membayangkan keberadaan lembaga panglima laot Provinsi Aceh yang hari ini eksis dan bangkit tanpa dikaitkan dengan nama Sarwono Kusumaatmaja.
Pangkalnya sangat sederhana, bermula ketika ia diangkat oleh Gus Dur untuk menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Ada banyak hal yang dikerjakan oleh Sarwono yang menyangkut dengan kementerian yang dipimpinnya, yang tak perlu diceritakan di sini.
Namun, ada sesuatu yang ia lakukan dengan tegas yang kemudian menjadi catatan sejarah kelautan dan perikanan nasional. Dan itu dimulai di Aceh pada tahun 1999.
Sebagai seorang politisi “lurus” dan “bersih” yang cukup banyak makan asam garam pemerintah Orde Baru, segera setelah Sarwono dilantik oleh Presiden Gus Dur, ia memutuskan untuk membuat sebuah kejutan tentang kementerian yang dipimpinnya.
Ia memilih untuk menindak kegiatan pencurian ikan yang marak dilakukan oleh kapal asing di laut Indonesia.
Mungkin untuk mengambil “berkah” ia ia memilih lokasi pantai barat Aceh.
Sarwono berkordinasi dengan pimpinan TNI Angkatan Laut untuk menangkap kapal pencuri ikan yang telah membuat resah nelayan pantai barat Aceh.
Hasilnya, 49 kapal ikan Thailand ditangkap oleh Angkatan Laut.
Beberapa kapal disuruh pulang sekalian membawa para awaknya, sebagiannya yang tinggal diadili.
Ada pengadilan yang cukup terbuka untuk kasus itu.
Kegiatan itu rupanya mendapat dukungan dari sejumlah elemen jahat di Tanah Air, karena ditemukan izin berikut dokuman palsu, yang dipadukan dengan penggunaan bendera Indonesia.
Pengadilan menghukum sejumlah pawang nelayan Thailand, 40 kapal disita , kemudian dilelang, dengan nilai mendekati 12 miliar.
Seperti biasa, ketika ada uang sitaan yang seperti itu, muncul berbagai pihak yang mengatasnamakan kepentingan publik.
Ada lembaga lokal, baik dari masyarakat, dan pemerintah yang berkeinginan mengambil uang itu dan menggunakannya dengan memakai baju kepentingan nelayan.
Sarwono bersikeras bahwa uang itu “wajib” digunakan untuk kepentingan nelayan.
Ketegasan kepada pelanggar hukum pencurian ikan dan kepedulian Sarwono itu akhirnya membuat lembaga adat nelayan Aceh yang selama ini eksis secara lokalitas, kemudian menjelma menjadi sebuah asosiasi provinsi yang kuat.
Untuk pertama kalinya, lembaga adat nelayan Aceh– panglima laot mulai mempunyai struktur dari bawah ke atas;- panglima laot lhok, panglima laot kabupaten, dan panglima laot provinsi.
Nelayan Aceh beruntung, karena salah satu pembantu terdekat dan terpercaya Sarwono adalah Mustafa Abubakar yang pada masa pemerintahan SBY-JK ditunjuk menjadi pejabat gubernur Aceh.
Pada tahun 2001, atas perintah Sarwono, melalui Mustafa uang penjualan hasil sitaan itu sebesar 11.900.000.000 dititipkan ke kas pemda Aceh untuk digunakan untuk kepentingan nelayan Aceh.
Uang itu kemudian menjadi cikal bakal lahirnya sebuah yayasan yang memberi perhatian besar kepada nelayan, terutama kepada pengembangan sumber daya manusia, khusus pendidikan anak nelayan.
Yayasan Pangkai Meurunoe Aneuk Nelayan (YPMAN) kemudian terus berkembang.
Dari modal awal 11.900.000.000 rupiah, dana itu terus bertambah dengan perhatian dan keputusan Mustafa Abubakar ketika menjadi pejabat gubernur Aceh, ia meyakinkan Menko Kesra untuk mengalokasikan bantuan yang kemudian disetujui sebesar 44.707.100.000 rupiah.
Dana itu kemudian bertambah lagi dengan bantuan dari mahasiswa Inggris sebesar 6.906.9003.
Sampai dengan tahun 2008, dana itu telah berkembang dan berjumlah 56 614.066.093 rupiah.
Hari ini, uang YPMAN itu telah beranak pinak dan pada tahun buku 2022, jumlah uang yayasan telah mencapai 75.539.038.918 rupiah.
Apa yang telah dilakukan oleh YPMAN untuk anak nelayan juga tak kurang penting dan menarik.
Sampai dengan tahun ajaran 2023, tidak kurang dari 47.508 anak nelayan telah mendapatkan bantuan pendidikan dari YPMAN.
Distribusi dari bantuan pendidikan itu porsi terbesarnya ada pada pendidikan dasar, mendekati 20.000 anak, lebih dari 13.000 pendidikan menengah pertama, lebih dari 9.000 pendidikan menengah atas, dan lebih dari 4.500 untuk pendidikan strata 1. Ada beberapa mahasiswa S2 dan S3 anak nelayan yang mendapat bantuan yang serupa.
Apa yang paling penting untuk dicatat dari seorang Sarwono tentang capaian YPMAN itu adalah keterlibatannya secara tak langsung ketika ia menjabat menteri, dan keterlibatannya secara langsung dalam yayasan ketika ia pensiun.
Ia rela menjadi anggota dewan pembina yayasan yang dipimpin oleh Mustafa Abubakar.
Tidak hanya itu, Sarwono juga “mewakafkan” dirinya untuk menjadi salah seorang pembina penting nelayan Aceh dengan menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Panglima Laot Aceh.
Di usianya yang sudah tua, ia rela terbang ke Aceh, baik untuk keperluan rapat penting yayasan, maupun untuk kepentingan nelayan.
Kehadirannya tidak hanya berkontribusi untuk kemajuan yayasan memajukan pendidikan anak nelayan, tetapi juga menjadi ajang komunikasi dan motivasi bagi para nelayan Aceh.
Ia sanggup duduk dengan sabar, ber jam-jam ketika berdiskusi dengan tokoh nelayan.
Disamping itu, ia sangat rajin memastikan manajemen organisasi dan keuangan berjalan dengan baik.
Uteun Leuser
Tidak hanya di laut, Sarwono juga mencintai Aceh dengan memberi perhatian besar kepada penyelamatan paru-paru dunia, kawasan ekosistem Leuser.
Ia menggantikan Mayjen AR Ramly sebagai ketua Yayasan Leuser Internasional, yang memberi perhatian tidak hanya untuk lingkungan semata, akan tetapi juga kepada keberlanjutan jasa lingkungan untuk pantai timur dan pantai barat Aceh.
Banyak pihak yang tidak tahu, luas kawasan ekosistem Leuser dia Aceh yang lebih dari 1,7 juta hektar itu kini berada dalam ancaman, akibat belum konkritnya rencana pengelolaan kawasan, yang dikaitkan dengan pembangunan daerah.
Tidak kurang dari satu miliar dolar, nilai ekonomi yang didapatkan oleh Aceh, baik di wilayah pantai timur, pantai barat, dan wilayah tengah Aceh, akibat adanya kawasan hutan ini.
Nilai itu baik langsung, maupun tak langsung dinikmati oleh rakyat Aceh, yang sering disebutkan dengan jasa lingkungan.
Tidak dapat dibantah, kawasan ekosistem Leuser disamping memiliki kekayaan habitat yang unik dan tak ternilai harganya, juga menjadi penjamin keberlanjutan kehidupan pesisir untuk pertanian padi, palawija, tambak, perkebunan, industri, dan bahkan air minum penduduk.
Di kawasan tengah, ekositem Leuser juga menjadi faktor penting dalam menghadirkan iklim mikro bagi jenis usaha komoditi tertentu-seperti kopi arabika gayo, dan berbagai jenis komoditi hortikultura lainnya.
Ketika judul tulisan ini ditulis kata “laot, blang, uteun” dan kaitannya dengan Sarwono, maka apa yang dikerjakan olehnya tanpa pamrih adalah memberikan apa yang “terbaik” yang dimilkinya untuk Aceh.
Ia tak pernah berhenti berfikir, dan berbuat, sesuai dengan kapasitasnya untuk Aceh.
Hatta di ujung hidupnya pun, ia masih berkeinginan untuk hadir dan memberikan sesuatu dalam “Duek Paket Rayek Panglima Laot” se Aceh yang digelar minggu yang lalu di Banda Aceh.
Musyawarah panglima laot itu ditunda beberapa kali, menunggu Sarwono sembuh.
Namun nasib berkata lain, Allah SWT memanggilnya satu hari sebelum acara itu berlangsung.
Satu hal yang penting untuk diketahui oleh masyarakat Aceh adalah Sarwono, putra Jawa Barat itu sangat bangga bisa berbuat untuk Aceh.
Ia bahkan membanggakan Aceh ketika ia berbicara di berbagai pertemuan nasional dan internasional.
Ketika ada satu dua peserta pada berbagai pertemuan, yang menyitir “kebrobrokan” Aceh dengan bukti uang melimpah dan kemiskinan dan korupsi yang berlanjut, Sarwono dengan ringan membantah.
Ia merespons, sebagian sinyalemen itu benar, tetapi sebagian lainnya salah.
Ia dengan bangga menyebut YPMAN sebagai salah satu bukti betapa orang Aceh itu amanah dan berkomitmen untuk melaksanakan sesuatu yang telah diputuskan, terutama ketika menyangkut dengan “dana publik” -dana yayasan, berikut dengan pemanfaatannya.
Ia sering berkata ketika “akuntabilitas” dan “transparansi” hadir, semuanya akan beres.
Itu yang diwanti-wanti ketika YPMAN didirikan, dan hal itu yang terus menerus diingatkan, bahkan diawasi ketat dalam operasional yayasan.
Sarwono kini telah tiada.
Ia meninggalkan cukup banyak warisan bagi yang mau memberi perhatian.
Ia adalah politisi Orde Baru yang terkenal bersih, berprinsip, dan sangat sederhana.
Kemana pun ia pergi, tawaran apapun yang diberikan ia tetap Sarwono yang tahu sekali tentang benar dan salah.
Tentang Aceh ia tak salah, baik ketika ia memilih bidang pengabdiannya, maupun dalam melakukan pengabdian itu sendiri.
Hidupnya kadang ramai, namun tak jarang kadang sunyi, sepi, dan sendiri.
Kurang dari setahun yang lalu, ketika suatu sore saya makan pagi dengan Sarwono di sebuah hotel di kawasan Kuningan di Jakarta, kami berdiskusi panjang.
Topiknya mulai dari sejarah ia bergabung dengan Golkar dan perjalanan Orde Baru, kedekatannya dengan Gus Dur.
Kami juga berdisikusi tentang situasi terakhir nasional.
Saya lebih sering bertanya atau menyitir topik-topik terakhir, dan ia menjawab dengan baik.
Ketika kami mau pulang, saya bertanya kepadanya, kenapa ia mau ke Aceh, padahal banyak bidang pengabdian di tempat lain yang menunggunya.
Ia menjawab dengan ringkas yang saya juga tahu.
Ia banyak sekali terlibat dalam berbagai yayasan atau organisasi yang berurusan dengan “berbuat baik” kepada manusia dan semua makhluk.
Tentang Aceh, disamping alasan umum, Sarwono punya alasan khusus.
Ia dengan bangga menyebutkan “sara kata” keluarga ayahnya yang menyebutkan kakek buyutnya berasal dari Samudera Pasai, Aceh.
Kemungkinan besar, kakek moyangnya berangkat dari Pasai, ketika rombongan ekspedisi Fatahillah mendarat dan membangun kota Jakarta.
Tentang bagaimana perjalanan moyangnya sampai ke Jawa Barat, tidak diceritakan.
Ketika saya bertanya, boleh tidak saya beritahu pada banyak teman-teman Aceh, ia tidak menjawab langsung.
Sambil berseloroh dan tertawa ringan ia berkata, “boleh nanti ketika saya sudah meninggal”.
Kami lalu berpisah, dan tak pernah bertemu lagi kecuali lewat whatsApp.
Dan hari ini, saya menyampaikan seperti yang ia wasiatkan.
Selamat jalan manusia Pasai.
Semoga amal jariahmu di dunia, seperti janjiNya, mendapat balasan dari sang Khalik.
Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com dengan judul “Acehnya” Almarhum Sarwono Kusumaatmaja: Laot, Blang, Uteun, https://aceh.tribunnews.com/2023/05/29/acehnya-almarhum-sarwono-kusumaatmaja-laot-blang-uteun
.
No responses yet